Rekomendasi Menjadi Blogger Kaya:

Friday, September 12, 2008

Keluarga Bening Hati

oleh Arda Dinata
http://ardanews.blogspot.com

Salah satu teladan yang bisa kita contoh dalam membangun kebeningan hati dalam keluarga, selain keluarga Rasulullah Saw, adalah keluarga Khalifah Ali bin Abu Thalib. Ali ra adalah suami dari Fatimah putri Rasulullah. Beliau sejak kecil hidup bersama Rasulullah, karena Rasulullah pernah diasuh oleh ayah Ali. Setelah Rasulullah menikah dengan Siti Khodijah, Ali ikut bersama Rasulullah dan dibesarkan, diasuh serta dididik sehingga tumbuh sebagai anak yang berbudi luhur, cerdik, dan pemberani.

Keberanian dan kebeningan hati Ali ini tercermin pada ikut sertanya dalam hampir seluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah. Ali senantiasa berada di barisan muka. Seringkali kaum muslimin memperoleh kemenangan karena keberaniannya dan ketangkasannya, Ali dikenal dengan Dzulfaqar karena pedangnya yang bermata dua. Namun demikian, Ali sehari-hari dalam keluarga, perilakunya selalu lemah lembut –sebagai pancaran kebeningan hati--.

Berkait dengan kebeningan hati ini, Ali ra berkata, “Sesungguhnya Allah ta’ala di bumi-Nya mempunyai sebuah wadah, yaitu hati. Maka yang paling dicintai Allah ialah hati yang paling lembut, paling jernih, dan paling keras.” Kemudian beliau menafsirkannya. Maka beliau berkata, “Maksudnya ialah yang paling keras dalam agama, paling jernih dalam keyakinan, serta paling lembut terhadap saudara-saudaranya.”

Keterangan itu menunjukkan kalau syariat Islam yang toleran telah memberikan perhatian yang besar terhadap institusi keluarga, sehingga ia menduduki posisi layak yang membuat ia menjadi pijakan kokoh bagi setiap muslim untuk mewujudkan kemuliaan, kehormatan, dan amal saleh yang bermanfaat.

Untuk mewujudkannya, setiap keluarga perlu dibangun suatu sistem pembelajaran yang dilandasi kebeningan hati. Perumpamaan hati adalah cermin. Selama ia bersih dari kotoran, maka dapatlah dilihat padanya segala sesuatu. Apabila ia tertutup kotoran dan tidak ada yang membersihkannya, maka ia pun diselimuti kotoran, yang pada akhirnya binasa –tidak dapat dibersihkan--.

Bukankah, kondisi bening hati dalam keluarga merupakan sesuatu yang dapat melejitkan potensi terciptanya keluarga sakinah? Rasulullah Saw bersabda, “Apabila Allah Swt menghendaki suatu rumah tangga yang baik (bahagia), diberikan-Nya kecenderungan menghayati ilmu-ilmu agama; yang muda menghormati yang tua; harmoni dalam kehidupan; hemat dan hidup sederhana; melihat (menyadari) cacat-cacat mereka dan kemudian melakukan taubat. Jika Allah Swt menghendaki sebaliknya, maka ditinggalkan-Nya mereka dalam kesesatan.” (HR. Dailami dan Anas).

Sungguh indah, suatu keluarga yang hidupnya dibangun dengan kebeningan hati. Maka, panjatkanlah selalu doa: “…. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqaan: 74). Wallahu a’lam.

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

DAPATKAN ARTIKEL LAINYA TENTANG:
Menjadi Penulis Sukses, Mendapatkan Harta Karun, Menulis Buku, bisnis internet. Klik di bawah ini:
http://www.penulissukses.com/?id=buku08

Dapatkan E-Book (berbahasa Indonesia) di bawah ini:
- Cara Mudah, Cepat dan Praktis Nampang di Internet / Dasar-Dasar HTML.
- Panduan Praktis Membangun Situs Dinamis dan Interaktif dengan PHP
- Cara Mengirim Puluhan, ratusan Bahkan Ribuan Email dalam Sekali Klik.
- Download GRATIS Ringkasan/Summary buku "KUNCI EMAS, Rahasia Sukses Membangun Kekayaan dan Kesejahteraan", Karya: L.Y. Wiranaga, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.
http://www.miqra.blogspot.com/

Katakanlah Wahai Anakku

Oleh Arda Dinata
http://ardanews.blogspot.com/



“Saya telah menemukan cara terbaik untuk memberi nasehat kepada anak-anak, yaitu menemukan apa yang mereka inginkan dan kemudian menasehati mereka untuk melakukannya.” (Harry S. Truman)


Suatu waktu, Umar bin Khathab mendorong anak-anak untuk berbicara di hadapan majelis orang tua guna menyampaikan pendapat dan gagasan. Umar berkata, “Terkait dengan apa turunnya ayat, Inginkah seseorang di antara kalian memiliki kebun kurma dan anggur (QS Al-Baqarah: 266)?”

Mereka menjawab, “Hanya Allah-lah yang tahu.” Maka, Umar ‘marah’ seraya mengatakan, “Katakanlah: tahu atau tidak tahu.”

Ibnu Abbas menjawab, “Dalam benakku ada sedikit pengetahuan itu, wahai Amirul Mu’minin.” Umar mengatakan, “Katakanlah wahai anakku dan janganlah kamu merendahkan dirimu sendiri.”

Ibnu Abbas berkata, “Ayat itu menggambarkan perumpamaan amal.”

“Amal apa?” tukas Umar.

Ibnu Abbas menjawab, “Seorang kaya yang melakukan kebaikan-kebaikan kemudian Allah mengutus kepadanya setan, lalu orang itu melakukan kemaksiatan hingga menghancurkan segala amal baiknya itu.”

* * *

Dialog di atas, sesungguhnya telah menuntun tiap orang tua agar membangun motivasi bagi anak-anaknya. Motivasi merupakan sebuah spirit yang harus kita sandarkan dalam setiap kehidupan anak-anak. Keberadaannya akan selalu dibutuhkan tak kala gairah perkembangan kehidupannya tersumbat oleh kerikil-kerikil kehidupan.

Motivasi, kata Muhammad Rasyid Dimas (2000), mempunyai peran besar terhadap jiwa anak dalam mewujudkan kemajuan aktifitas positif yang membangun, dalam menumbuhkan kemampuan dan dalam menyalurkan bakatnya. Motivasi juga akan mendukung kontinuitas kerja dan mendorong anak untuk maju.

Dalam memberikan motivasi kepada anak-anaknya, orang tua tentu memiliki cara yang berbeda-beda. Lebih-lebih hal ini didukung dengan pengalaman hidup orang tua yang berbeda-beda pula. Ada yang memotivasi secara material atau nonmaterial. Itu semua baik, sepanjang dilakukan secara tidak berlebihan. Landasan kewajaran dalam memotivasi anak ini kelihatannya merupakan sesuatu yang patut dipatuhi. Sebab bila tidak, ia akan berdampak merusak pribadi anak itu sendiri.

Jadi, intinya tiap keluarga harus mampu membangun motivasi dalam hidupnya. Yang jelas, menyangkut cara dan teknis pendekatannya tiap orang tua lebih mengetahui kebiasaan anak-anaknya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Harry S. Truman, “Saya telah menemukan cara terbaik untuk memberi nasehat kepada anak-anak, yaitu menemukan apa yang mereka inginkan dan kemudian menasehati mereka untuk melakukannya.”

Adapun cara mudah dan bisa dilakukan oleh tiap keluarga untuk menasehati anak lewat motivasi adalah dengan membelikan buku-buku. Dengan aktifitas membaca buku, seorang anak secara ilmiah akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan dirinya. Dalam hal ini, Ibnu Abidin –seorang ulama besar—pernah bercerita kepada anaknya bahwa yang menyebabkan ia mengumpulkan buku-buku itu (yang tidak ada tandingannya) adalah karena ayahnya. Menurut Ibnu Abidin, ayahnya selalu membelikan buku yang diinginkannya. Ayahnya berkata, “Belilah buku yang kamu inginkan dan aku akan membayarnya. Karena kamu telah menghidupkan perjalanan hidup (sirah) para pendahulu kita. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, hai anakku.”

Akhirnya, untuk dapat menasehati anak lewat motivasi, mendorongnya agar maju, mampu mengaktualisasikan potensi pribadinya, dan menyalurkan bakatnya, maka biasakan anak kita untuk berani mengatakan sesuatu hal tentang kebenaran hidup sesuai dengan kapasitas dirinya. Dari sini, tentu orang tua harus mampu membimbingnya secara bijaksana dan proposional. Untuk itu, biasakan ada dialog pada keluarga kita. Dalam berdialog dengan anak, orang tua biasakan mengucapkan, “Katakanlah wahai anakku dan janganlah kau rendahkan dirimu sendiri,” dengan suara lembut lagi penuh keakraban. Wallahu a’lam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

DAPATKAN ARTIKEL LAINYA TENTANG:
Menjadi Penulis Sukses, Mendapatkan Harta Karun, Menulis Buku, bisnis internet. Klik di bawah ini:
http://www.penulissukses.com?id=buku08

Dapatkan E-Book (berbahasa Indonesia) di bawah ini:
- Cara Mudah, Cepat dan Praktis Nampang di Internet / Dasar-Dasar HTML.
- Panduan Praktis Membangun Situs Dinamis dan Interaktif dengan PHP
- Cara Mengirim Puluhan, ratusan Bahkan Ribuan Email dalam Sekali Klik.
- Download GRATIS Ringkasan/Summary buku "KUNCI EMAS, Rahasia Sukses Membangun Kekayaan dan Kesejahteraan", Karya: L.Y. Wiranaga, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.


Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.
http://www.miqra.blogspot.com

Katakanlah Wahai Anakku

Oleh Arda Dinata
http://ardanews.blogspot.com/


“Saya telah menemukan cara terbaik untuk memberi nasehat kepada anak-anak, yaitu menemukan apa yang mereka inginkan dan kemudian menasehati mereka untuk melakukannya.” (Harry S. Truman)


Suatu waktu, Umar bin Khathab mendorong anak-anak untuk berbicara di hadapan majelis orang tua guna menyampaikan pendapat dan gagasan. Umar berkata, “Terkait dengan apa turunnya ayat, Inginkah seseorang di antara kalian memiliki kebun kurma dan anggur (QS Al-Baqarah: 266)?”

Mereka menjawab, “Hanya Allah-lah yang tahu.” Maka, Umar ‘marah’ seraya mengatakan, “Katakanlah: tahu atau tidak tahu.”

Ibnu Abbas menjawab, “Dalam benakku ada sedikit pengetahuan itu, wahai Amirul Mu’minin.” Umar mengatakan, “Katakanlah wahai anakku dan janganlah kamu merendahkan dirimu sendiri.”

Ibnu Abbas berkata, “Ayat itu menggambarkan perumpamaan amal.”

“Amal apa?” tukas Umar.

Ibnu Abbas menjawab, “Seorang kaya yang melakukan kebaikan-kebaikan kemudian Allah mengutus kepadanya setan, lalu orang itu melakukan kemaksiatan hingga menghancurkan segala amal baiknya itu.”

* * *

Dialog di atas, sesungguhnya telah menuntun tiap orang tua agar membangun motivasi bagi anak-anaknya. Motivasi merupakan sebuah spirit yang harus kita sandarkan dalam setiap kehidupan anak-anak. Keberadaannya akan selalu dibutuhkan tak kala gairah perkembangan kehidupannya tersumbat oleh kerikil-kerikil kehidupan.

Motivasi, kata Muhammad Rasyid Dimas (2000), mempunyai peran besar terhadap jiwa anak dalam mewujudkan kemajuan aktifitas positif yang membangun, dalam menumbuhkan kemampuan dan dalam menyalurkan bakatnya. Motivasi juga akan mendukung kontinuitas kerja dan mendorong anak untuk maju.

Dalam memberikan motivasi kepada anak-anaknya, orang tua tentu memiliki cara yang berbeda-beda. Lebih-lebih hal ini didukung dengan pengalaman hidup orang tua yang berbeda-beda pula. Ada yang memotivasi secara material atau nonmaterial. Itu semua baik, sepanjang dilakukan secara tidak berlebihan. Landasan kewajaran dalam memotivasi anak ini kelihatannya merupakan sesuatu yang patut dipatuhi. Sebab bila tidak, ia akan berdampak merusak pribadi anak itu sendiri.

Jadi, intinya tiap keluarga harus mampu membangun motivasi dalam hidupnya. Yang jelas, menyangkut cara dan teknis pendekatannya tiap orang tua lebih mengetahui kebiasaan anak-anaknya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Harry S. Truman, “Saya telah menemukan cara terbaik untuk memberi nasehat kepada anak-anak, yaitu menemukan apa yang mereka inginkan dan kemudian menasehati mereka untuk melakukannya.”

Adapun cara mudah dan bisa dilakukan oleh tiap keluarga untuk menasehati anak lewat motivasi adalah dengan membelikan buku-buku. Dengan aktifitas membaca buku, seorang anak secara ilmiah akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan dirinya. Dalam hal ini, Ibnu Abidin –seorang ulama besar—pernah bercerita kepada anaknya bahwa yang menyebabkan ia mengumpulkan buku-buku itu (yang tidak ada tandingannya) adalah karena ayahnya. Menurut Ibnu Abidin, ayahnya selalu membelikan buku yang diinginkannya. Ayahnya berkata, “Belilah buku yang kamu inginkan dan aku akan membayarnya. Karena kamu telah menghidupkan perjalanan hidup (sirah) para pendahulu kita. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, hai anakku.”

Akhirnya, untuk dapat menasehati anak lewat motivasi, mendorongnya agar maju, mampu mengaktualisasikan potensi pribadinya, dan menyalurkan bakatnya, maka biasakan anak kita untuk berani mengatakan sesuatu hal tentang kebenaran hidup sesuai dengan kapasitas dirinya. Dari sini, tentu orang tua harus mampu membimbingnya secara bijaksana dan proposional. Untuk itu, biasakan ada dialog pada keluarga kita. Dalam berdialog dengan anak, orang tua biasakan mengucapkan, “Katakanlah wahai anakku dan janganlah kau rendahkan dirimu sendiri,” dengan suara lembut lagi penuh keakraban. Wallahu a’lam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

DAPATKAN ARTIKEL LAINYA TENTANG:
Menjadi Penulis Sukses, Mendapatkan Harta Karun, Menulis Buku, bisnis internet. Klik di bawah ini:
http://www.penulissukses.com?id=buku08

Dapatkan E-Book (berbahasa Indonesia) di bawah ini:
- Cara Mudah, Cepat dan Praktis Nampang di Internet / Dasar-Dasar HTML.
- Panduan Praktis Membangun Situs Dinamis dan Interaktif dengan PHP
- Cara Mengirim Puluhan, ratusan Bahkan Ribuan Email dalam Sekali Klik.
- Download GRATIS Ringkasan/Summary buku "KUNCI EMAS, Rahasia Sukses Membangun Kekayaan dan Kesejahteraan", Karya: L.Y. Wiranaga, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.


Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.
http://www.miqra.blogspot.com

Berpkir dan Bertindak Demi Hari Esok

Oleh Arda Dinata
http://ardanews.blogspot.com/


Jika Anda lebih menginginkan keberhasilan, Anda dapat memilikinya. Masa depan Anda dapat menjadi lebih cerah daripada semua yang Anda inginkan. Karena cara berpikir Anda mencerminkan cara Anda bertindak. Dan cara Anda bertindak menentukan bagaimana masa depan yang akan terbentang di depan Anda.
(Vernon Howard).


Pada suatu hari Bahlul tengah berjalan-jalan di sebuah jalan di kota Basrah. Tiba-tiba, ia melihat anak-anak tengah bermain dengan buah kemiri dan pala. Namun, di sana ada seorang anak yang hanya menonton teman-temannya sambil menangis. Bahlul menghampirinya dan berkata dalam hati, “Anak ini bersedih karena tidak memiliki mainan seperti yang dimiliki oleh anak-anak yang lain.” Kemudian Bahlul berkata kepadanya, “Anakku, mengapa kamu menangis? Maukah aku belikan buah kemiri dan pala, sehingga kamu dapat bermain dengan teman-temanmu?”

Anak itu menatap Bahlul, lalu menjawab: “Hai orang yang kurang cerdas, kita diciptakan bukan untuk bermain-main.”

“Lalu untuk apa kita diciptakan?” tanya Bahlul.

Anak kecil itu menjawab, “Untuk belajar dan beribadah.”

Bahlul bertanya lagi,”Dari mana kamu memperoleh jawaban itu? Kiranya Allah memberkatimu.”

Dia menjawab, “ Dari firman Allah dalam QS. Al-Mu’minun: 116, Apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakanmu untuk bermain-main dan bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”

* * *

Kisah antara Bahlul dan seorang anak itu, memberikan pelajaran bagi siapa pun. Kalau manusia itu, diciptakan untuk belajar dan beribadah. Demikian pula halnya dengan kehidupan berkeluarga. Kita tentu semata-mata harus membangunnya di atas dasar koridor belajar dan beribadah kepada Allah.

Betul, kalau setiap anak itu butuh bermain dalam hidupnya. Namun, tentu bermain yang mengandung dan mengarahkan si anak kepada proses belajar membangun aktivitas beribadah kepada Allah SWT. Apalagi, saat ini di sekitar kita begitu banyak tersebar aneka fasilitas dan informasi bermain yang ditawarkan pada anak-anak. Yang kadangkala kalau orang tua tidak hati-hati, permainan itu tidak islami dan bisa merusak akidah anak kita.

Di sinilah, barangkali perlunya peranserta dan kemampuan pola kebijakan orang tua dalam memilih teman bermain anak-anaknya. Dan sebenarnya, inti dari belajar itu adalah berpikir dan bertindak. Bukankah, perilaku yang diperbuat oleh tiap manusia, semata-mata diawali dari sebuah niat dan pola pikir dalam hati dan akalnya. Untuk itu, tiap orang tua dituntut agar niat dan akal anak-anaknya harus ditata dan dibina dengan baik agar melahirkan perbuatan yang dapat menjadi bekal dan penyelamat dalam menyongsong masa depannya.

Jadi, berpikir dan bertindak ini jelas-jelas akan menjadi kunci keberhasilan dari apa-apa yang kita inginkan, termasuk dalam pembentukan keluarga sakinah. Dalam hal ini, Vernon Howard mengungkapkan, jika Anda lebih menginginkan keberhasilan, Anda dapat memilikinya. Masa depan Anda dapat menjadi lebih cerah daripada semua yang Anda inginkan. Karena cara berpikir Anda mencerminkan cara Anda bertindak. Dan cara Anda bertindak menentukan bagaimana masa depan yang akan terbentang di depan Anda.

Untuk itu, bangunlah setiap saat pola pikir dan tindakan anak-anak kita sesuai etika dan perilaku islami. Karena menurut John Kehoe, melalui pengulangan, pikiran menjadi terpusat dan terarah serta kemampuannya dapat berlipat ganda setiap saat. Semakin sering diulang, semakin banyak tenaga dan kekuatan yang terkumpul dan semakin siap untuk diwujudkan.

Akhirnya, tidak ada jalan lain untuk menyongsong hari esok, selain setiap anggota keluarga muslim harus betul-betul menyadari bahwa dalam hidup ini, kita harus memperhatikan bekal-bekal apa saja yang telah dipersiapkan dan diperbuat bagi kehidupan di hari esok. Allah berfirman, “….dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), ….” (QS. Al-Hasyr: 18). Wallahu a’lam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

DAPATKAN ARTIKEL LAINYA TENTANG:
Menjadi Penulis Sukses, Mendapatkan Harta Karun, Menulis Buku, bisnis internet. Klik di bawah ini:
http://www.penulissukses.com?id=buku08

Dapatkan E-Book (berbahasa Indonesia) di bawah ini:
- Cara Mudah, Cepat dan Praktis Nampang di Internet / Dasar-Dasar HTML.
- Panduan Praktis Membangun Situs Dinamis dan Interaktif dengan PHP
- Cara Mengirim Puluhan, ratusan Bahkan Ribuan Email dalam Sekali Klik.
- Download GRATIS Ringkasan/Summary buku "KUNCI EMAS, Rahasia Sukses Membangun Kekayaan dan Kesejahteraan", Karya: L.Y. Wiranaga, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.


Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.
http://www.miqra.blogspot.com

Manajemen Kepemimpinan dalam Rumah Tangga

Oleh Arda Dinata
http://ardanews.blogspot.com

“Masing-masing kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya atas kepemimpinannya. Dan pemimpin manusia (iman), itu juga pemimpin yang akan ditanya atas kepemimpinannya. Dan setiap laki-laki itu pemimpin atas kelaurganya; dan akan ditanya atas kepemimpinanya. Setiap pelayan itu pemimpin dalam mengurus harta majikannya, dan akan ditanya atas kepemimpinanya. Maka setiap pemimpin akan ditanya atas kepemimpinannya.” (HR. Muslim).

MENURUT Kurnia Irawati Istadi, dua tahun terpenting dalam kehidupan manusia adalah di awal usianya. Dan di masa-masa emas tersebut ternyata bayi-bayi itu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama ibu. Kualitas sentuhan pendidikan yang ibu berikan di usia ini akan menentukan kualitas mereka hingga dewasa kelak.

Persoalan keluarga sangat beragam. Walaupun suami sebagai kepala keluarga, namun biasanya urusan keseharian lebih banyak keputusannya diserahkan atau didelegasikan kepada isteri. Artinya ratusan kebijakan-kebijakan kecil yang ibu putuskan dari hari ke hari, adalah ibarat potongan-potongan kecil puzzle yang saling melengkapi satu dengan yang lain, sehingga kelak akan menghasilkan susunan gambar kehidupan yang indah dan sempurna. Jadi, sekeping kecil kebijakan remeh sekalipun tentu memiliki andil dalam menentukan gambar masa depan sebuah keluarga.

Jadi, jangan remehkan akan pentingnya manajemen rumah tangga sebagai penyempurna ikhtiar dalam rangka membentuk tatanan keluarga sakinah. Secara sederhana, manajemen rumah tangga diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan perantaraan orang lain, tetapi dapat juga berarti mengelola anggota keluarga untuk melakukan kegiatan di dalam rumah tangga. Proses manajemen itu meliputi tindakan perencanaan, pengorganisasian, menggerakan dan pengawasan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber lain.

Proses seperti itu, jelas-jelas menunjang dalam pengelolaan keluarga. Pasalnya, dengan jam kerja 24 jam sehari, kebanyakan orang masih menganggap profesi manajer rumah tangga sekedar kewajiban seorang isteri. Padahal, ketrampilan yang dibutuhkan tidaklah main-main. Menurut Ishak solih, seorang manajer harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan, misalnya: berwibawa, berdaya mampu untuk membawa serta dan memimpin bawahannya, jujur, terpecaya, bijaksana, berani, mawas diri, sanggup dan mampu mengatasi kesulitan, bersikap wajar, sederhana, penuh pengabdian kepada tugas, sabar dan berjiwa besar.

Keberadaan sifat kepemimpinan pada kepala keluarga atau ibu rumah tangga seperti itu, sangat menunjang kesuksesan pengelolaan rumah tangga menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupan keseharian.

Kepemimpinan Keluarga

Dalam keluarga lengkap, pemimpin tertinggi adalah suami (istilah manajemen dinamakan top manager). Kemudian pemimpin kedua adalah isteri yang dapat disebut middle manager atau sekaligus lower manager. Dan umumnya aplikasinya cukuplah dengan pembagian tugas. Suami sebagai kepala keluarga (yang memimpin isterinya) dan isteri sebagai ibu rumah tangga.

Peranan kepemimpinan dalam membina rumah tangga menduduki tempat yang strategis dan menentukan dapat tidaknya keluarga itu mencapai kesejahteraannya. Karenannya, di sini diperlukan perilaku keteladanan dari orang tua. Artinya, sikap dan tindakan seorang kepala keluarga atau ibu rumah tangga akan memberikan pengaruh besar terhadap anggota keluarganya.

Berikut ini ada beberapa petunjuk bagi setiap pemimpin rumah tangga yang terdapat dalam ajaran Islam. Sehingga menurut Ishak Solih, mudah-mudahan para pemimpin yang berwatak kurang baik (baca: watak diktator dan watak liberal-Pen) dapat memperbaiki setelah memahami, menghayati dan mencoba mengamalkan petunjuk di bawah ini.

Pertama, dalam membina keluarga sejahtera, sebuah anggota keluarga berkewajiban untuk memelihara diri masing-masing dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari, sehingga terwujudlah kehidupan yang harmonis. Khusus bagi kepala keluarga dan atau ibu rumah tangga wajib memelihara diri dan memelihara semua anggota keluarganya. (baca: QS. At-Tahrim [66]: 6).

Kedua, setiap kepala keluarga dan atau ibu rumah tangga wajib mempertanggung jawabkan kepemimpinannya baik di dunia maupun di akherat nanti. Nabi Saw bersabda: “Masing-masing kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya atas kepemimpinannya. Dan pemimpin manusia (iman), itu juga pemimpin yang akan ditanya atas kepemimpinannya. Dan setiap laki-laki itu pemimpin atas kelaurganya; dan akan ditanya atas kepemimpinanya. Setiap pelayan itu pemimpin dalam mengurus harta majikannya, dan akan ditanya atas kepemimpinanya. Maka setiap pemimpin akan ditanya atas kepemimpinannya.” (HR. Muslim).

Ketiga, setiap pemimpin keluarga hendaknya bersikap lemah lembut terhadap semua bawahannya. Bila ada kesalahan di antara mereka maafkanlah bahkan mohonkan maaf baginya. Dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan keluarga, baik dalam membuat perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan, hendaknya suka bermusyawarah. (baca: QS. Ali Imran [3]: 159).

Keempat, dalam hubungan antara yang memimpin dan dipimpin dalam keluarga, hendaknya dipupuk tali ikatan kasih sayang di samping faktor material lainnya. Hendaknya satu sama lain penuh kesabaran dalam mengejar kebahagiaan bersama. (baca: QS. At-Taubah [9]: 128).

Kelima, dalam keluarga hendaknya tercipta adanya saling mencitai dan mendoakan di antara pemimpin dan yang dipimpin. Hindarkanlah saling membenci dan saling mengutuk. Menurut Rasulullah Saw, yang paling baik di antara pemimpin kamu adalah yang kamu cintai dan yang mencintai kamu, yang kamu mintakan barkah untuknya dan untukmu.

Keenam, hendaknya seorang suami bersikap adil terhadap isterinya. Demikian pula sebagai orang tua terhadap anak-anaknya dan anggota keluarga lainnya. Kebencian kepada anggota hendaknya dihindarkan. Apabila ada sikap dan tingkah laku yang tidak baik, hendaknya diperbaiki dengan penuh kesabaran, sehingga sikap dan tingkah laku tersebut hilang dengan pendidikan terhadap diri anggota keluarga, janganlah malah bertindak tidak adil. (QS. Al-Maidah [5]: 8).

Akhirnya, diharapkan peran pemimpim dalam proses manajemen rumah tangga akan membuahkan kebahagiaan dan kesejahteraan di dalam keluarga. Amin. Wallahu’alam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

DAPATKAN ARTIKEL LAINYA TENTANG:
Menjadi Penulis Sukses, Mendapatkan Harta Karun, Menulis Buku, bisnis internet. Klik di bawah ini:
http://www.penulissukses.com?id=buku08

Dapatkan E-Book (berbahasa Indonesia) di bawah ini:
- Cara Mudah, Cepat dan Praktis Nampang di Internet / Dasar-Dasar HTML.
- Panduan Praktis Membangun Situs Dinamis dan Interaktif dengan PHP
- Cara Mengirim Puluhan, ratusan Bahkan Ribuan Email dalam Sekali Klik.
- Download GRATIS Ringkasan/Summary buku "KUNCI EMAS, Rahasia Sukses Membangun Kekayaan dan Kesejahteraan", Karya: L.Y. Wiranaga, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.


Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.
http://www.miqra.blogspot.com

Meluruskan Emansipasi dan Membangun Karakter Bangsa

Oleh Arda Dinata
http://ardanews.blogspot.com


BERBICARA
tentang wanita tidak akan pernah ada habisnya, bagaikan sebuah oase yang tidak membosankan, semakin dibicarakan akan semakin terbuai olehnya. Napoleon Bonaparte pernah mengatakan bahwa kemajuan wanita adalah sebagai ukuran kemajuan negeri kaum ibu yang dapat menggoyangkan buaya dengan tangan kirinya, dapat pula menggoyangkan dunia dengan tangan kanannya.

Berkait dengan itu, timbul satu pertanyaan dalam menyikapi kondisi keterpurukan bangsa Indonesia saat ini. Yakni, apakah ada yang salah dari perilaku kaum wanita di Indonesia, bila kita kaitkan dengan kondisi bangsa ini?

Di zaman ini, ada kecenderungan yang sangat kuat di kalangan wanita, dari lapisan apapun, untuk bekerja. Begitu seorang wanita menyelesaikan pendidikannya, maka yang terbayang dalam benaknya adalah dunia kerja. Bekerja untuk mendapatkan upah atau gaji. Intinya bekerja di luar rumah (Suharsono, 2002:23).

Menyikapi kecenderungan itu (baca: wanita yang menghilangkan kodrat sebagai ibu), patut kita renungkan apa yang dipertanyakan Said Hawa, bahwa bukankah lebih terhormat bagi wanita, jika segala keperluan dan pembiayaan hidupnya dijamin oleh suaminya, daripada mesti bekerja di luar rumah dan mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan karakternya? Apakah pertumbuhan anak lebih baik di dalam asuhan ibunya, atau di dalam asuhan tempat penitipan?

Menyikapi fenomena tersebut, ada tiga tekad yang dilahirkan kaum wanita pada kongres pertamanya di Yogyakarta 22 Desember 1928, yakni menggalang persatuan, tampil seiring dengan kaum pria dalam merebut kemerdekaan, serta meneruskan cita-cita untuk memperoleh hak hidup dalam kodratnya sebagai wanita. Ternyata masih relevan dengan makna perjalanan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan saat ini.

Menurut H.M. Hembing Wijayakusuma (1995: 426), tiga tekad wanita Indonesia terus diperjuangkan, terutama menyangkut hak hidup sesuai kodratnya. Tapi satu hal yang pantang diremehkan, yakni peran kaum ibu sebagai ibu rumah tangga. Kaum bapak sungguhpun ada kekecualian, tapi pengabdiannya di kantor, atau di tempatnya menggantungkan hidup bersama keluarga untuk mencari nafkah, akan banyak dipengaruhi oleh peran istri dalam rumah tangga. Agama Islam mengajarkan bahwa surga itu berada ditelapak kaki ibu. Dapatkah kaum ibu menghayati makna ajaran ini sehingga senantiasa menjadi anutan sang anak dan curahan kasih sayang suami? Itulah pedoman paling berharga untuk bisa tampil sebagai madu pemanis rumah tangga dan pengharum bangsa dengan gelar ibu.

Dalam bahasa lain, Suharsono (2002: 25-26) mengungkapkan bahwa tampaknya kita perlu merenungi sebuah pernyataan yang disabdakan Nabi Saw, “Surga di bawah telapak kaki ibu.” Bila kita simak baik-baik pernyataan ini kita patut bertanya, “Apakah setiap (tipologi) ibu dapat mensurgakan anaknya?” Apakah tipologi ibu dalam perspektif budaya patriarkhi, yang hanya bergerak dari dapur sampai tempat tidur dapat mensurgakan anak-anaknya? Atau sebaliknya, ibu-ibu dalam perspektif feminisme dewasa ini, yang mampu mensurgakan anak-anaknya.

Lebih jauh diungkapkan, jika Islam sangat menghargai harkat wanita, seperti dinyatakan Alquran surat Luqman: 14 dan Ahqaf: 15, bukanlah bertujuan agar perempuan itu menjadi laki-laki, dengan cara persamaan hak kerja, profesi dan sebagainya, tetapi untuk menjadi ibu. Islam tidak mengatur masalah kerja profesional bagi perempuan, apalagi jika kerja itu dilakukan di luar rumah, karena memang tidak ada kewajiban perempuan untuk mencari nafkah. Tetapi sebaliknya, Islam mengatur secara rinci bagaimana mestinya perempuan menjadi ibu.

Menurut Sukarti H. Manan (1999), yang menjadi kenyataan sekarang ini adalah muncul istilah emansipasi wanita yang sering disalah artikan. Penulis teringat pada Kartini yang dengan gigihnya memperjuangkan derajat wanita agar sejajar dengan kaum pria. Ketika wanita memperoleh kesempatan “berkiprah” di dunia luar selain rumah tangganya, ada kalanya mereka secara tidak sadar melupakan kodrat kewanitaan-nya, rumah tangga, termasuk anak dan suami. Bekerja melebihi waktu, sehingga anak justru “terdidik” oleh orang lain (pembantu) dan memunculkan perasaan “bersih” pada diri suami.

Untuk itu, pemaknaan emansipasi wanita ini harus segera kita luruskan agar tidak membuat keterpurukan bangsa ini menjadi berlarut-larut. Dalam nada pertanyaan, Elvira W & Eva R (1997), mengungkapkan bahwa satu fenomena (gejala) yang tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa semakin banyak perempuan yang menghiasi percaturan perpolitikan tidak menutup suatu kemungkinan menunjukkan bahwa semakin banyak wanita yang terlibat dalam dunia kejahatan. Jadi apakah semua merupakan suatu keberhasilan dari peran ganda wanita atau hanya fatamorgana belaka??..

Dalam hal ini, Maurice Bardeche, pakar dari negara Prancis yang dinilai sebagai pelopor yang mengumandangkan semboyan “kebebasan dan persamaan”, dalam bukunya “Hestoire des Femmers” memperingatkan janganlah hendaknya kaum ibu meniru kaum bapak, karena jika demikian akan lahir bahkan telah lahir jenis manusia ketiga sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam bukunya “Lentera Hati”. Dikatakannya bahwa “baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, tetapi itu bukan merupakan kewajibannya”. (Widaningsih, 2000).

Sementara itu, diungkapkan Dadang Kusnandar, jika wanita secara tulus melakukan tugas-tugas rumah tangganya, boleh jadi konsep rumah tangga Islam: Baiti Jannati, dengan sendirinya akan lebih mudah terbina. Sebab pendidikan yang paling mulia bagi anak tidak lain bermula dari ibu. Maka anak-anak langsung memperoleh pendidikan dan kasih sayang seorang ibu, lebih terjamin akhlaknya. Anak-anak akhirnya lebih terkendali dan bersosialisasi di tengah pergaulan masyarakat. Mereka tidak mudah terjerat pada sekian penyimpangan dari perilaku chaos serta tawaran-tawaran nilai “baru” untuk melakukan pengingkaran norma-norma sosial, terutama moral serta etika agama.

Sebaliknya, wanita yang menyerahkan pendidikan anaknya kepada orang lain tanpa keterlibatan langsung dan penuh dari ibunya ketika ia remaja tampak lebih lentur dalam menerima “paradigma” di kalangan remaja, terutama di kota-kota. Katakanlah ia menjadi terasing dari lingkungannya, malah dengan keluarga sendiri kerap menjadi amat individualis. Dan sulit dihindari kenyataan menujukkan adanya sejumlah dekonstruksi moral dan etika sosial, sering bermula dari ketidak harmonisan hubungan keluarga.

Di sinilah pentingnya sebuah kesadaran untuk menjadi seorang ibu. Kesadaran ini, tentu berkenaan dengan masalah-masalah reproduksi perempuan sebagaimana yang menjadi wacana feminisme. Tetapi, dalam pandangan Suharsono (2002), persoalannya tidaklah cukup dengan “melahirkan” lalu menjadi ibu dan selesai. Menjadi ibu melibatkan pengertian dan kesadaran baru yang harus dimiliki bagi setiap perempuan. Di samping resiko beratnya melahirkan, menjadi ibu berarti memiliki kesadaran penuh untuk membekali diri dalam rangka mendidik anak-anaknya. Tugas untuk menjadi ibu dalam pengertian seperti ini, membutuhkan bobot spiritual dan intelektualitas yang memadai. Para ibu adalah guru pertama anak-anaknya sendiri. Orang pertama yang akan menjadi sandaran bagi anak-anaknya, tempat bertanya, mengadukan halnya dan juga perlindungannya. Jawaban-jawaban yang diberikan serta kepedulian seorang ibu bagi anak-anaknya, sangat menentukan bagi masa depan anak-anaknya.

Pendidik Karakter

Dalam Alquran, kita diingatkan agar memelihara keluarga dari api neraka. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; … (QS. At Tahrim: 6). Iman Ali bin Abi Thalib menjelaskan makna ayat ini, “Didiklah diri dan kelurgamu dengan perbuatan baik dan saleh.”

Allah secara tegas memerintahkan kita untuk mendidik diri sendiri dan keluarga dengan ajaran-ajaran agama, sehingga terbentuk keluarga yang bertaqwa. Bila keluarga baik, maka negara pun baik. Keluarga merupakan negara kecil. Bila ingin membangun negara, kita harus mulai dari keluarga. (Indris Thaha; 1997:10).

Untuk mencapai kondisi tersebut, di sini paling tidak kita memerlukan sosok wanita, ibu, atau muslimah yang mampu menjadi pendidik sesuai akhlak Islam. Dan kuncinya ada pada kekayaan ilmu, sehingga kita (baca: ibu) dituntut harus banyak ilmu terutama ilmu agama Islam.

Berkait dengan menjadikan wanita sebagai pendidik, menurut Indrawati (1999), mengungkapkan bahwa pendidik wanita, tidak hanya menjadi komputer yang siap menyimpan data (file) di luar kepala terhadap sejumlah ilmu pengetahuan, informasi, dan nilai-nilai yang sudah, sedang, dan akan berkembang di masyarakat. Akan tetapi, ia harus menjadi pelaku yang gesit, tampil terampil, berani melangkah dengan tegar dan tegas, dan penuh percaya diri.

Lebih jauh diungkapkan, wanita diciptakan Tuhan bukan dari tulang tengkorak pria, yang hanya bisa menjadi pemikir. Bukan hanya dari tulang kaki, yang hanya bisa manut untuk berjalan. Bukan pula dari tulang tangan yang hanya bisa menengadah dan mengharap belas kasihan orang lain. Akan tetapi, wanita diciptakan dari rongga dada seorang pria, di mana seluruh pusat kehidupan dimulai dan harus dilindungi.

Di situlah bergetarnya perasaan dan keimanan, berdenyutnya nafas yang memberikan semangat dan kemauan. Kalau instrumen-instrumen ini baik, maka semua getaran perintah akan meluncur ke otak dengan baik pula. Filosofi demikian harusnya dapat menyadarkan kita semua (terutama kaum ibu) untuk menyadari dan membangun kepribadiannya agar semakna dengan ungkapan bahwa: “Wanita adalah tiang negara dan sorga berada di telapak kaki ibu”.

Surga berada di bawah telapak kaki ibu. Arti lainnya, wanita adalah pendidik utama dan pertama. Wanita adalah teman sejawat. Wanita adalah tiang negara. Yang terakhir ini, memproyeksikan bahwa apabila wanita dalam negara tersebut baik -–moralitas, kecerdasan, dan spiritualitasnya---, maka kokohlah negara tersebut. Sebaliknya dapat dipastikan, jika wanitanya buruk, maka hancurlah negara tersebut. Jadi, ibulah yang akan “membentuk” karakter dan kondisi suatu bangsa.

Untuk itu, semoga wanita-wanita penghuni bangsa ini tidak melupakan kodrat kewanitaannya, yakni menjadi seorang ibu yang baik. Ibu yang mampu menghasilkan keturunan yang baik pula, menjadi pendidik utama dan pertama sehingga dapat membentuk karakter dan kondisi bangsa Indonesia yang lebih baik serta ada dalam lindungan-Nya. Amin. Wallahu a’lam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

DAPATKAN ARTIKEL LAINYA TENTANG:
Menjadi Penulis Sukses, Mendapatkan Harta Karun, Menulis Buku, bisnis internet. Klik di bawah ini:
http://www.penulissukses.com?id=buku08

Dapatkan E-Book (berbahasa Indonesia) di bawah ini:
- Cara Mudah, Cepat dan Praktis Nampang di Internet / Dasar-Dasar HTML.
- Panduan Praktis Membangun Situs Dinamis dan Interaktif dengan PHP
- Cara Mengirim Puluhan, ratusan Bahkan Ribuan Email dalam Sekali Klik.
- Download GRATIS Ringkasan/Summary buku "KUNCI EMAS, Rahasia Sukses Membangun Kekayaan dan Kesejahteraan", Karya: L.Y. Wiranaga, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.


Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
E-mail:
arda.dinata@gmail.com
Hp. 081.320.476048.
http://www.miqra.blogspot.com

Saturday, September 6, 2008

7 Aspek Perkembangan Anak

Oleh: ARDA DINATA
Email:
arda.dinata@gmail.com

DALAM kehidupan anak, ada dua proses yang berlangsung secara kontiyu. Yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Kedua proses ini berlangsung secara interdependen, saling bergantung satu sama lainnya.

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses alamiah yang terjadi pada setiap mahluk hidup. Pada masa balita proses pertumbuhan dan perkembangan ini terjadi dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi pada seorang anak pun tidak hanya meliputi perubahan fisik, tetapi juga perkembangan berpikir, perasaan, sosial, dan lainnya.

Menurut Dr. Kartini Kartono (1995) dalam bukunya psikologi anak, mendefinisikan pertumbuhan dengan perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat, dalam peredaran waktu tertentu. Sedangkan perkembangan diartikan sebagai perubahan-perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh faktor-faktor lingkungan dan proses belajar dalam peredaran waktu tertentu menuju kedewasaan.

Yang jelas, perkembangan anak tidak berlangsung secara mekanis-otomatis. Tapi, sangat bergantung pada beberapa faktor secara simultan. Yaitu (1) faktor keturunan (warisan sejak lahir, bawaan). (2) Faktor lingkungan yang menguntungkan atau yang merugikan. (3) Kematangan fungsi-fungsi organis dan psikis. Dan (4) aktivitas anak sebagai subyek bebas yang berkemauan, memiliki kemampuan seleksi, bisa menolak atau menyetujui, memiliki emosi, dan berusaha membangun diri sendiri.

Menyikapi faktor penentu perkembangan anak di atas, maka setidaknya ada tujuh aspek perkembangan anak yang harus dibina. (1) Perkembangan gerakan motorik kasar. Gerakan motorik adalah semua gerakan yang dilakukan oleh seluruh tubuh. Sedangkan yang termasuk gerakan motorik kasar ialah apabila gerakan yang dilakukan melibatkan sebagian besar dari kegiatan tubuh dan biasanya memerlukan tenaga, karena dilakukan oleh otot-otot besar. Misalnya, duduk tanpa dibantu; merangkak, bangkit, dan berdiri tanpa dibantu; dan lainnya.

(2) Perkembangan motorik halus. Yaitu gerakan yang dilakukan oleh bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil. Karena biasanya tidak begitu memerlukan tenaga, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat. Misalnya, menjangkau, mencekam, memasukan benda ke mulut; mengenal benda dengan menggunakan jempol dan satu jari; memindahkan benda dari tangannya; dan lainnya.

(3) Perkembangan komunikasi yang pasif. Dalam hal ini, kemampuan anak untuk mengerti isyarat dan pembicaraan orang lain. Misalnya, menengok ke arah sumber bunyi; menghentikan kegiatan kalau mendengar ada kata perintah; memberikan reaksi yang berbeda terhadap macam-macam jenis suara; dan lainnya.

(4) Perkembangan komunikasi aktif. Yakni kemampuan anak untuk mengungkapkan keinginan dan perasaan dalam bentuk kata-kata. Misalnya, membuat bunyi-bunyi seperti tangisan; mengulangi bunyi (mengoceh) kalau sedang sendiri atau diajak bicara; mencoba meniru bunyi menurut kemampuan anak; dan lainnya.

(5) Perkembangan kecerdasan. Kecerdasan ini mengandung makna kemampuan daya ingat, daya tangkap seorang anak pada umur tertentu. Anak yang pandai akan cepat tanggap dalam membandingkan dan membedakan ide. Kemampuan kecerdasan anak ini, apabila tidak terlaksana pada waktunya akan menimbulkan kesukaran pada diri anak. Misalnya, mengikuti benda bergerak dengan mata; mengikuti gerakan dan perbuatan; mengenal orang berbeda-beda; memberikan reaksi pada orang yang belum dikenal dengan menangis atau menatap terus-menerus; dan lainnya.

(6) Perkembangan kemampuan menolong diri sendiri. Dalam hal ini, adalah ketrampilan dan kemampuan menolong diri sendiri pada saat umur tertentu. Walaupun secara alamiah seorang anak masih harus ditolong, tetapi hendaknya sudah mulai belajar untuk dapat melakukan sendiri tanpa ada pertolongan orang lain, agar anak tidak merasa canggung lagi melakukannya. Misalnya, menyuapkan biskuit ke mulut; memegang cangkir/ gelas dengan tangan tidak dibantu; dan lainnya.

(7) Perkembangan tingkah laku sosial. Yaitu tingkah laku yang mencerminkan kemampuan hidup berdampingan dengan orang lain. Perkembangan ini berdampak terhadap bagaimana seseorang anak dapat membiasakan menyesuaikan diri dengan lingkungan, dapat menerima, membantu, dan menghargai orang lain. Misalnya, tersenyum secara spontan; menaruh perhatian kalau namanya sendiri disebut; memberikan reaksi terhadap perkataan “tidak”; dan lainnya.

Beberapa contoh perkembangan anak di atas, merupakan kemampuan yang harus dicapai oleh anak umur 0 - 1 tahun. Semoga ketujuh aspek tersebut menjadi perhatian para orangtua yang mengharapkan anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.***

Arda Dinata, Seorang Pendidik dan Alumnus Kesehatan Lingkungan Kutamaya Bandung.

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,
http://www.miqra.blogspot.com/.

Bermain dengan Ayah

Oleh Arda Dinata

“Sering orang mencoba menjalani hidup secara terbalik; mereka mencoba memiliki lebih banyak barang, lebih banyak uang, agar dapat mengerjakan hal yang mereka inginkan lebih banyak, agar mereka lebih bahagia. Sebenarnya, jalan yang benar adalah kebalikannya. Engkau pertama-tama harus menjadi dirimu yang sesungguhnya, lalu melakukan apa yang perlu kaulakukan, agar dapat lebih banyak memiliki hal-hal yang kau inginkan.”
(Margaret Young).


Sore itu, cuaca begitu cerah. Pak Zaenal seperti biasa setelah shalat Ashar, baru pulang dari kantor. Begitu sampai di rumah, pak Zaenal mengucapkan salam dan membuka pintu rumah. Di sana, didapati putri kesayangannya, Alifia (5 th), yang sedang menunggu dan menyambut dengan antusias atas kehadiran ayahnya. Anak ini, seakan-akan tidak memperdulikan kondisi ayahnya. Biar kondisi ayahnya capek, lelah, dan perlu istirahat. Pokoknya dalam pikirannya hanya ada satu kata, yaitu “bermain dengan ayah”. Dalam pikirannya, bermain dengan ayah adalah sesuatu yang paling menyenangkan.

Pada keadaan itulah, biasanya hati pak Zaenal luluh untuk menuruti kemauan anaknya. Dan pak Zaenal menghibur dirinya dalam hati dengan ucapan, “Bukankah, saya selaku orang tua harus mampu memposisikan pikirannya dengan pikiran si anak. Lagian kita selaku orang tua harus mampu memformulasikan rasa lelah, bijaksana, emosi anak, mendidik, dan hiburan menjadi satu bentuk amal keikhlasan,” ucap hatinya.

Akhirnya, terciptalah kebersamaan pak Zaenal dengan anaknya. Keduanya bermain-main naik sepeda keliling rumahnya. Hilang sudah “rasa lelah” pak Zaenal, berganti keceriaan yang tiada tara, baik dirinya maupun anaknya. Dan seperti biasanya, saat bermain itulah pak Zaenal tidak lupa menyelipkan tarbiyah tentang kehidupan kepada anaknya.

* * *

Hiburan merupakan kebutuhan tambahan --yang cukup memberi andil dalam perkembangan anak--. Dari aktivitas hiburan ini, akan terbentuk penyegaran pikiran dan fisik. Ialah obat dari kejenuhan rutinitas hidup seseorang. Baik bagi suami, istri, maupun anak.

Dalam koridor seperti itu, biasanya emosional orang tua menjadi luluh. Orang tua memenuhi keinginan seorang anak untuk mendapat hiburan. Hiburan apa? Seperti yang terjadi pada pak Zaenal, ternyata di luar dugaannya. Sang anak hanya ingin naik sepeda. Dengan naik sepeda keliling lingkungan RT, wajah sang anak begitu terlihat bahagia. Begitu juga pada keluarga lain, anak-anak itu sebenarnya tidak menuntut banyak tentang jenis hiburannya. Tapi, dirinya ingin bermain dengan kemampuan orang tuanya.

Bisa dikatakan langkah pak Zaenal itu, adalah sesuatu yang menjadi ikon pribadi seorang ayah yang bijaksana. Karena menurut Margaret Young, sering orang mencoba menjalani hidup secara terbalik; mereka mencoba memiliki lebih banyak barang, lebih banyak uang, agar dapat mengerjakan hal yang mereka inginkan lebih banyak, agar mereka lebih bahagia. Sebenarnya, jalan yang benar adalah kebalikannya. Engkau pertama-tama harus menjadi dirimu yang sesungguhnya, lalu melakukan apa yang perlu kaulakukan, agar dapat lebih banyak memiliki hal-hal yang kau inginkan.

Naik sepeda, begitu sederhana. Tak perlu biaya banyak dan relatif setiap orang tua mampu melakukannya. Tapi, hal sederhana itu, justru Subanallah manfaatnya. Diantaranya, bagaimana kita bisa mengajarkan rasa syukur nikmat, menghormati orang lain, aktivitas amaliah di dunia, dan lainnya. Tarbiyah itu, tentu masih dalam jangkauan pikiran dan bahasa anak-anak seusianya.

Salah satu kesan menghibur anak dengan naik sepeda itu adalah proses mendidik anak untuk mensyukuri nikmat. Aktualisasi rasa syukur nikmat itu secara sederhana, kita bisa mencontohkan misalnya bagimana seorang manusia yang diberi anggota tubuh yang sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya; terciptanya hewan, tumbuhan; adanya matahari, bintang, langit, awan, dll. Atau berupa nikmat non materi seperti nikmat sehat dan adanya waktu senggang, sehingga kita bisa bermain.

Pokonya, pemberian kebutuhan tambahan hiburan kepada keluarga. Lebih-lebih pada anak adalah lebih utama dari yang lainnya. Rasulullah bersabda, “Pemberian tambahan seseorang kepada keluarganya lebih utama daripada pemberian tambahan kepada orang lain, seperti kelebihan seseorang shalat berjama’ah dibanding seseorang shalat sendiri.”(HR. Ibnu Abu Syaibah). Wallahu a’lam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

Tahapan-Tahapan Dalam Mendidik Anak

Oleh: Arda Dinata
http://ardaiq.blogspot.com

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hingga lisannya fasih. Kedua orangtuanyalah yang membuatnya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Al-Baihaqi, Ath-Thabarani).


Berkenaan dengan peringatan “Hari Anak Nasional” yang diperingati setiap tanggal 23 Juli ini. Berikut ini ada kisah yang menarik dan perlu kita renungi sebagai bahan introspeksi diri terkait dengan pola pendidikan anak-anak yang dilakukan oleh orangtua dan pendidik selama ini.

Ibnu Khaldun menceritakan, ketika Al Rasyid menyerahkan anaknya, Al-Amin kepada seorang guru, ia mengatakan, “Wahai Ahmar, sesungguhnya Amirul Mukminin telah menyerahkan kepadamu belaihan jiwa dan buah hatinya. Maka, bukalah tanganmu lebar-lebar dan ketaatanmu kepadanya adalah kewajiban. Tetaplah kamu bersamanya sebagaimana kamu kepada Amirul Mukminin. Bacakanlah kepadanya Alquran dan ajarkanlah kepadanya hadis-hadis. Riwayatkanlah kepadanya syair-syair dan ajarkanlah kepadanya sunah. Perlihatkanlah kepadanya fenomena-fenomena dan dasar-dasar ilmu kalam. Laranglah dirinya tertawa bukan pada waktunya. Janganlah ia bertemu denganmu sesaat saja keculai kamu menyampaikan kepadanya pelajaran-pelajaran yang dapat diambilnya, dengan tidak menyembunyikannya sehingga pikirannya menjadi mati. Janganlah kamu biarkan dirinya berleha-leha, sehingga ia suka nganggur dan bersenang-senang. Luruskanlah dirinya sesuai kemampuanmu dengan pendekatan yang lembut. Jika ia menolaknya maka lakukanlah dengan kekerasan.”

* *
Keterangan di atas, merupakan pelajaran bagi orangtua dan pendidik dalam proses pendidikan anak-anak mereka. Sesungguhnya anak kecil itu merupakan amanat bagi setiap orangtuanya. Hatinya masih suci bersih dan kosong. Jika dibiasakan dan diajari kebajikan, ia akan tumbuh pada kebajikan dan berbahagia di dunia maupun di akhirat. Nabi SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hingga lisannya fasih. Kedua orangtuanyalah yang membuatnya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Baihaqi, Ath-Thabarani).

Kesuksesan dalam mendidik anak, paling tidak akan ditentukan oleh ketiga kekuatan yaitu orangtua, pendidik di sekolah dan tatanan lingkungan masyarakatnya. Di sini, kelihatannya peran yang menentukan dan strategis dalam periode awal kehidupan seorang anak ialah pola didik dan asuhan dari kedua orangtuanya (baca: ibu dan bapak) di rumah.

Dalam mendidik anak sesuai moral Islam, menurut Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh (2003), ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan. Pertama, menanamkan akidah yang sehat. Bersumber dari Rafi r.a., ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW menyerukan adzan shalat ke telinga Hasan bin Ali r.a., ketika ia baru saja dilahirkan oleh Fatimah.” (HR. At-Tirmidzi).

Kedua, latihan ibadah dan beri hukuman. Bersumber dari Abdullah bin Umar r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun. dan pukullah mereka, karena meninggalkan shalat ketika mereka telah berusia dua belas tahun. Dan pisahkanlah mereka pada tempat tidur.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim).

Ketiga, mengajarkan kepada anak sesuatu yang halal dan haram. Bersumber dari Abdullah bin Zaid r.a., ia berkata, “Kami sedang berada di dekat Abdullah bin Masud r.a., ketika mendadak seorang puteranya datang menghampirinya dengan mengenakan baju dari sutera. Abdullah bin Masud bertanya, ‘Siapa yang memakaikan pakaian ini kepadamu?’ Anak itu menjawab, ‘Ibuku.’ Abdullah bin Masud lalu menanggalkannya seraya berkata, ‘Katakan pada ibumu supaya ia memakai pakaian yang selain ini.’”

Keempat, membangun aktivitas belajar. Rasulullah SAW bersabda, “Hak anak atas ayahnya ialah diajari menulis, berenang dan memberinya rezeki dari yang halal saja.” (HR. Al-Baihaqi).

Kelima, membangun persahabatan orangtua terhadap anak. Rasulullah SAW bersabda, “Perhatikanlah anak-anakmu, dan didiklah mereka dengan baik.” (HR. Ibnu Majah). Hadis ini mengajarkan agar orangtua untuk selalu bersahabat dengan anak, mengawasi, memperhatikan, dan mendidik mereka sebaik mungkin. Rasulullah memberi petunjuk dalam sabdanya, “Barangsiapa punya anak kecil hendaklah ia perlakukan secara proposional.” (HR. Ibnu Askair).

Keenam, membiasakan meminta izin. Ishak Al-Ghazari berkata, “Aku pernah bertanya kepada Al-Auza’i, apa batasan anak kecil yang diharuskan minta izin terlebih dahulu?” Ia menjawab, “Kalau ia sudah berumur empat tahun. pada usia ini, ia tidak boleh menemui wanita tanpa izin terlebih dahulu.” Dan menurut Az-Zuhri, “Seseorang yang menemui ibunya harus minta izin terlebih dahulu.”

Dalam bahasa lain, menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, secara hirarkis pokok-pokok dalam mendidik anak secara Islam itu meliputi tujuh tahapan tanggung jawab yang harus dilakukan orangtua dan pendidik, yaitu: Pertama, tanggung jawab pendidikan iman. Di dalamnya menyangkut tentang membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah; mengenalkan hukum halal dan haram kepada anak sejak dini; menyuruh anak untuk beribadah ketika telah memasuki usia tujuh tahun; dan mendidik anak untuk mencintai Rasul, keluarganya serta membaca Alquran.

Kedua, tanggung jawab pendidikan moral. Jika sejak masa kanak-kanak, ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, ia akan memiliki kemampun dan bekal pengetahuan di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, di samping terbiasa dengan akhlak mulia. Sehingga dari sini, anak akan terhindar dari jeratan perilaku suka berbohong, suka mencuri, suka mencela dan mencemooh, serta terhindar dari kenakalan dan penyimpangan yang dilarang agama.

Ketiga, tanggung jawab pendidikan fisik. Tanggung jawab ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah, dan bersemangat. Amanat ini di dalamnya berisi tentang tanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga dan anak; mengikuti aturan kesehatan dalam makan, minum dan tidur; melindungi diri dari penyakit menular; merealisasikan prinsip tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain; membiasakan anak berolah raga; membiasakan anak untuk zuhud dan tidak larut dalam kenikmatan; membiasakan anak bersikap tegas dan menjauhkan diri dari penggangguran, penyimpangan serta kenakalan.

Keempat, tanggung jawab pendidikan rasio (akal). Orangtua dan pendidik hendaknya mampu membentuk pola pikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, seperti ilmu agama, kebudayaan dan peradaban. Di sini, anak diusahakan untuk selalu belajar, menumbuhkan kesadaran berpikir, dan kejernihan berpikir (baca: kesehatan berpikir).

Kelima, tanggung jawab pendidikan kejiwaan. Pendidikan ini dimaksudkan untuk mendidik anak berani bersikap terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak. Salah satu bentuknya adalah bagaimana mendidik anak untuk tidak bersifat minder, penakut, kurang percaya diri, dengki, dan pemarah.

Keenam, tanggung jawab pendidikan sosial. Yakni mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosial yang utama. Di antaranya berupa penanaman prinsip dasar kejiwaan yang mulia didasari pada akidah islamiah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam. Sehingga si anak di tengah-tengah masyarakat nantinya mampu bergaul dan berperilaku sosial dengan baik, memiliki keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana.

Ketujuh, tanggung jawab pendidikan seksual. Di sini, orangtua dan pendidik hendaknya mampu mendidik tentang masalah-masalah seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah-masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan. Sehingga ketika anak telah tumbuh menjadi seorang pemuda dan dapat memahami urusan-urusan kehidupan, ia telah mengetahui apa saja yang diharamkan dan apa saja yang dihalalkan. Lebih jauh lagi, ia diharapkan mampu menerapkan tingkah laku islami sebagai akhlak dan kebiasaan hidup, serta tidak diperbudak syahwat dan tenggelam dalam gaya hidup hedonis. Wallahu a’lam. ***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

Kesehatan Ibu, Bisnis dan Anak Cerdas

Kompas.Com - Asi.bikin.anak.cerdas.kok.bisa
INGIN memiliki anak Anda yang cerdas? Berikanlah Air Susu Ibu (ASI) sejak ... untuk berkonsultasi dengan dokter atau ahli kesehatan, ujar Ines Gulardi. ...www.kompas.com/read/xml/2008/05/12/17040822/asi.bikin.anak.cerdas.kok.bisa - 37k - Tembolok - Halaman sejenis

Kompas.Com - Gizi.memadai.bikin.anak.cerdas
/Home/Kesehatan/Ibu dan Anak. Gizi Memadai, Bikin Anak Cerdas. Artikel Terkait: ... Berita Ekonomi/Bisnis, REG BIS, UNREG BIS ...www.kompas.com/read/xml/2008/05/24/20011942/gizi.memadai.bikin.anak.cerdas - 34k - Tembolok - Halaman sejenisHasil temuan lainnya dari http://www.kompas.com/ »

Kompas.Com - Banyak.bermain.bikin.anak.cerdas
INGIN anak Anda cerdas dan kreatif? Mulailah melewati hari-hari bersama bayi atau ... ke perut ibu atau membacakan doa sambil mengelus-ngelus perut ibu. ...202.146.4.17/read/xml/2008/07/23/17323899/banyak.bermain.bikin.anak.cerdas - 38k - Tembolok - Halaman sejenis

ANAK CERDAS DAN KREATIF BERKAT ALUNAN MUSIK « :: Keluarga Mustafa ::
Musik bersyair itu misalnya lagu anak-anak ciptaan Ibu Sud atau Ibu Kasur. .... DIarsipkan di bawah: Parenting yang berkaitan: Ibu, anak cerdas, musik, ...keluargamustafa.wordpress.com/2008/07/11/anak-cerdas-dan-kreatif-berkat-alunan-musik/ - 37k - Tembolok - Halaman sejenis

suarasurabaya.net - Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Jadi Prioritas
Temukan Bisnis Internet Paling Mudah Dan Praktis Menghasilkan Uang Melimpah Di ... Untuk itu, peran pro aktif dalam menunjang kesehatan ibu dan anak, ...www.suarasurabaya.net/v05/kelanakota/?id=6e751e0e04da3e7a9a8039d3d20954ec200855772 - 58k - Tembolok - Halaman sejenis

Info Kesehatan, Teknologi & Bisnis
Anak cerdas dan tumbuh sehat dambaan semua orang tua. .... Bayi dari ibu yang gemar makan cokelat memiliki perangai riang dan aktif. ...mazzmoel.blogspot.com/ - 40k - Tembolok - Halaman sejenis

Bertubuh Montok, Jaminan Anak Cerdas? Petunjuk & Instruksi ...
Wanita yang masuk dalam kategori ini tentu saja memiliki tingkat kesehatan yang lebih baik, dan berpeluang memiliki anak yang sehat dan cerdas. ...id.88db.com/id/Discussion/Discussion_reply.page/Lesson_Instruction/?DiscID=558 - 112k - Tembolok - Halaman sejenis

Ibu Cerdas Bayi Sehat - Ada Apa di Trimester Kedua?
24 Jul 2008 ... Keluhan dan Solusi Kesehatan Ibu Hamil Trimester Kedua ... tntang perkembangan ke 2 anak saya yg 1 usianya 1,7 blan tpi blm jls bicaranya, ...www.bayisehat.com/pregnancy/ada-apa-di-trimester-kedua.html - 46k - Tembolok - Halaman sejenis

Wednesday, August 20, 2008

fitness for a mom

The foundation of fitness for a mom is her abdominal area. To moms a flat stomach is wonderful; a strong abdominal core is critical. The cool thing is, you can get both at the same time with side planks.

Side planks are great for toning, without enlarging, the obliques on the side of your abdomen. Strong oblique muscles also add powerful stability to your back. Asthetically, side planks can sculpt your stomach in ways crunches or sit-ups just can't do. The nice thing about side planks is they can be done in little time and you don't need any equipment.

Before we get on to how to do them, I just want to add a little incentive...A Mom with Poor Abdominal Strength is an Accident Waiting To Happen Let's face it, as your child grows the physical demand placed on your body increases. You start out holding a 8 lb. newborn in your arms, but that quickly changes into holding a 25 lb. toddler who twists and turns quickly.

You may be required to sweep your toddler up with your right arm while holding another child in the left. You may have to carry a 40 lb. child who is unhappy and doing whatever it takes to squirm from your grasp. If your body is incapable of handling these tough physical demands it will let you know, because back pain and fatigue will start compounding. Is your body prepared to handle the stress being placed on it?

A Side Plank A Day Keeps Back Pain Away Planks, build functionally strong, stabilizing abdominal muscles that allow you to bend, twist and reach with less chance of injury. Beginning an abdominal strengthening program now will prepare you for when your infant becomes a toddler and for those times your toddler becomes antsy and unruly.Planks can not only give you back your pre-pregnancy abs, but they will prepare your body to deal with being a mom of a toddler! So let's get to the exercise itself.

How to Side Plank:

1) Begin by lying on your left side. Bend your left elbow and place the forearm on the floor directly under your shoulder. Your weight should be supported on the forearm and the left hip. Your right arm should be resting along the right side of your body with the hand resting on the right thigh.

2) Rise up so your body weight is resting on your left forearm and the edge of your left foot. Wear shoes that have a good edge on the sole to avoid slippage once you're in place. If you find this to be too difficult, start by placing your weight between your forearm and knee. After a few weeks, you'll be able to move to the more difficult position in which you are supporting your body between your forearm and your foot rather than your knee.

3) Lift your body up as high as you can and contract your abdominal muscles by bringing navel to spine. Attempt to form a straight line from your armpit along the side of your ribs to your hip, and down to your ankle just above your left foot. Hold this position for 5 to 10 seconds to start with. You can increase to 20 seconds over several weeks, but your goal should be to eventually build up to at least 60 seconds for each slow contraction.

4) Slowly lower your body back to the floor, then immediately rise as high as you can and hold it again. Repeat on the right side. Start with two sets of 10 repetitions on each side.

Saturday, August 16, 2008

Alarm System

Alarm System: Window Screens
Alarm System Window Screens- Window screens are the ultimate perimeter device. The windows in your home look as if they have normal screens on them, however the actual screen mesh is an alarm circuit. The frame also has a contact point in it, so the screen can't be cut or removed without violating the system if it is armed. The window can be opened for ventilation and protected at the same time. Now that's a great perimeter device!(INSIDE SCOOP!) Have your screens put on a 24- hour zone. (always on even if the system is off) You will not be able to bypass your always on zones from your keypad. You will need to call in with your password when you remove them for cleaning.Screens are very expensive, (often $125.00 to $200.00 each) for each opening, but you don't have to do every window. You can do one on each side of the house or in the master bedroom only if you like the concept of ventilating the house with fresh air while your system is armed. More importantly think about putting one in your children's rooms if you can afford it. The peace of mind you will get from having your most precious concern protected will be well worth the expense.Some alarm companies will measure your windows and create a brand new screen. More often they will mark your existing screens as to which window they came from and bring them with them to be re-built. This assures a correct fit and saves a step so that you will save time and hopefully money. Screens come in different frame and mesh shades and colors so be sure to review this with your security consultant when you order them.Screens take some time to have built. Alarm companies will often wait for them to be returned to them before scheduling your install. Be advised that the screens may slow your install start time down by a couple of weeks. If your alarm company is willing to install the rest of your system, and return at a later date with your screens I would do just that. Could you imagine how hard you would be on yourself if you were burglarized while you were waiting for your screens to be built and an alarm to be installed?(INSIDE SCOOP!) Hold back a substantial portion of your screen money until the screens are installed. No matter how noble your alarm company's practices are, nothing seems to put a spring in a for profit company's step, like money.When I think of protecting your window with a screen in the same room that is protected by a glass break detector, while a motion detector looks on at the whole thing, I think of an elderly gentleman who wears a belt along with his suspenders. It is not a bad idea to overlap your security layers, but you still want to be aware of where to draw the line. A cunning salesperson can run the register up in a New York minute if you're not on the studious prowl for redundancies.By Matthew Francis

Wednesday, July 30, 2008

Emerging Paradigm for Empowering the Family and Community for Welfare Enhancement at the Grass Roots

HIGHLIGHTOBSERVATION STUDY TOUR On Emerging Paradigm for Empowering the Family and Community for Welfare Enhancement at the Grass Roots, Jakarta and Yogyakarta, 28-31 Jan 2008

The DAMANDIRI Foundation, hereon forth referred to as the Foundation, has had the privilege to host the OST (Observation Study Tour) on "Emerging Paradigm for Empowering the Fainily and Community for Welfare enhancement at The Grass Roots". True to its vision of Family Prosperity, and the mission of Empowering the Grass Roots Families and Community for their Welfare Enhancement, the Foundation has endeavored hard to materialize the POSDAYA paradigm in the community. Various location-specific POSDAYA have been in operation since the inception in 2006-2007.

Encouraged by the rapid acceptance and adoption of the POSDAYA's concept and its three main pillars of Cotong Royong, of Self-Reliance (Kemandirian), and Empowerment, the Foundation began to initiate firm steps to share and disseminate this novel paradigrn of social change to the wider national and international circles. One of these is holding the OST's for both national and international participants. The OST was held at Jakarta and Yogyakarta on January 28-31 , 2008. The following are highlights and major points in the OST.

OBJECTIVES The overriding objectiveof the OST is toapply the concept of empowering all segmentsof the age spectrum in the farnily and the cornmunity through the community-based POSDAYA model. The specific objectives are:

* To share the community-based POSDAYA Paradigm to international and national participants; ! To share Indonesia's experience in empowering the community in social development through community-based POSDAYA Model; To invite participants to adapt the community-based POSDAYA and other models as appropriate to their respective settings; To share with international and national participants the inception of local community-based and other fore as data base for incumbent social and economic development and future programs.

Participants were Indonesian prograrn policy decision-makers at various levels, both from national-provincial-local levels, both government, non-government agencies, and also from international agencies. Ms Rachel Chua from ICOMP - Malaysia; Mr Abdisalan Osman Abdi, Somalian Embassy in Jakarta, Somalia; Ms Byarlina Gymirti, State Ministry of People's Welfare; Ms Ratna Juita Razak, National Family Plannning Coordinating Board (BKKBN) Mr AdrianusTanjung, the Indonesian Planned Parenthood Association; MrYan Efri Bachtiar, Bogor Agricultural Institute; Ms Noorchayati, State Planning Board of Central Java; Mr Legiman, State Planning board of Central Java; Ms Woro Sulistyaningsih, State Planning Board of Yogyakarta Special Province Ms Mundi Mahaswiati, Kusurna Buana foundation, Indonesia.

EMPOWERING THE COMMUNITY AS AN EFFORT TO REVIVE THE CULTURE OF SELF RELIANCE IN COMMUNITY SOCIAL SECURITY

The Indonesian National Council on Social Welfare (INCSW) was officially established in 1975 as a social organization. The aims of INCSW are : • To coordinate Social Organizations and their efforts in social developments • To study problems commonly shared by various communities in Indonesia • Extending cooperation in a relationship of mutual trust and benefit INCSW focuses its programs on Social Empowerment, listening to what they have to say about their problems and offer ideas for possible solution. INCSW shares the experience of member organizations and other relevant organizations in solving social problems. INCSW develops effective national and international training programs for institutions and administrators throughout Indonesia. ICSW budget has been supported by the central and local government of Indonesia, communities and supplemented by local, national and international donors for training and program activities.

1. Introduction
Indonesia, with a population of about 230 million people in 2007, is home to more than 50 million families living in borderline poverty associated a low educational background. Consequently, with or without natural disasters or social upheavals, Indonesia constantly faces a high number of families either in poverty, or in danger of sinking into it. The Government's work to reduce the numbers of poor families - or of those susceptible to it - is not easy. Rescue measures based on creating a social safety net are confronted by the harsh reality of the sheer numbers of poor and of the "nearly poor'. Poverty relief measures developed tend to suffer a lack of integration and an absence of focused and disciplined measures towards community empowerment. They attract heavy criticism for failing to educate; just endless stop gap emergency charity based measures. They stand accused of nurturing passive acceptance and resignation-even laziness-among recipients.

2. Development of Indonesian Social Participation
To support grassroots level integration, the Indonesian National Council on Social Welfare (INCSW) or DNIKS, Damandiri Foundation, tertiary institutions and numerous community organizations are striving to socialize the concept to regional government and the broader general community. In the first phase, the Damandiri Foundation invites tertiary institutions having concerns for local communities to begin these programs in the neighbourhood of the tertiary institution. Cooperative institutions involve students from poor economic backgrounds, under the guidance of lecturers, and with the incentive of tertiary fees (SPP) being paid by the Foundation as a means of empowerment for the students involved. These students are invited to work off-campus to help low-income families and high school students in the local area.

3. Formation of the Posdaya Groups: Scope, Goals and Objectives
Posdaya is a communication, advocacy and education forum simultaneously institutionalizing and integrating measures to strengthen family functions. Posdaya can be developed as a vehicle for delivery of integrated family services- encompassing family health, education, training and small enterprise support. It may also be an agent for promoting environmental consciousness and a facilitator of self-sustaining family initiatives. In hard economic times, it promotes initiatives to help neighbours and other poor families, it also can function as an effective local safety net.

4. Empowerment Programs
Real empowerment must be based on accurate family mapping. Data collection should focus on poor families that are home to children under 15 years of age. Three family groupings should be identified; poor families in need of assistance to be able to escape poverty, those self-sufficient but without extra resources to help wider family, and, thirdly, established families capable of providing resources to wider family members when needed.

5. The Future Outlook of Posdaya
Under influence of these three or four priorities, it is hoped that communities will gain impetus for continuous development. When undertaken with a high level of commitment, sustainedly and over the long term, communities can expect progress to be reflected by regular rises across a range of living standard and quality indicators (HDI).

OBSERVATION STUDY TOUR On BEST-PRACTICES IN EMPOWERING THE FAMILY AND COMMUNITY FOR WELFARE ENHANCEMENT AT THE GRASS ROOTS

PEOPLE-CENTERED DEVELOPMENT: A BRIEF REVIEW … Indonesia is obsessed with breaking the poverty chain. Many programs have been launched, maintained and institutionalized. The greater part of those programs are centered on women and the family. In the early 1990's these programs became institutionalized into the “1992 Law on Population and Family Development”. Indonesia also saw the development of the Integrated Health and Family Planning, Post, commonly known as the POSYANDU, which among other things is directed for the family, women and children. The 1990s further saw efforts launched by BKKBN (National Family Planning Coordinating Board) to strengthen family development by introducing women groups to income security and motivating them to save and to draw credits. These became known as TAKESRA (savings for family welfare) and KUKESRA (credits for family welfare); in effect the embryo of pre-cooperative and cooperatives. In mid-2000 one would observe the advent of a new paradigm for empowering all members of the family, and of families within their local community. In generic terms this paradigm is labeled as POSDAYA. In essence POSDAYA is a local community forum issues related to representing the interests of all family members, discussing and agreeing on development priorities and needs fulfillment in the community. In summary, those were the milestones in family development and in efforts at alleviating poverty. Within each, there are specific operational interventions, some of which became success stories and others meeting failures. On this ground the strategy of POSDAYA is threefold. First, is developing small to medium scale entrepreneurial activities. Second, is promoting increased access to basic educational opportunities together with life skills training. Thirdly, is increasing access to health services, especially for mothers and children. SHARING BEST PRACTICES ... The principle of the OST is that Indonesia and the host organization, i.e. DAMANDIRI Foundation intend to share with international and national participants all lessons learnt and best practices in various activities and ventures in enhancing grassroots family welfare, and thereupon invite and comments and recommendations for improvement. Those best practice, among others will include the Posdaya paradigm, activities in improving the human resources, in and out of school, and provision of micro credit schemes. Those strategies are consistently and sustainably pursued by adhering to the Millennium Development Goals (MDGs) and based upon Indonesia's principles of the Eight Functions of the Family. Various programs and activities in that arena have been in place, developed, and nurtured. Those will be demonstrated and shared. The theme for this OST is “… Empowerment base on commitment, confidence, conviction and continuity...” OBJECTIVES … The overall objective of the OST is to exchange empirical experiences on providing access and opportunities to grassroots families to participate in, and enjoy the fruits, of their toils in development. The specific objectives are as follows: • Demonstrating the POSDAYA approach as the appropriate paradigm for family and community development; • Demonstrating DAMANDIRI's program on practical Human Resources Development activities, particularly in improving the quality of higher secondary school (SMU) graduates; • Formulating recommendations for possible improvements in family and community and Human Resources Development in general, and for possible replications. METHODOLOGY … National and international participants will attend one-day of official opening and briefings. Days 2 and 3 will be for field observation and discussion with local authorities and cadres. At the end of Day 3 a session on Reflections-Discussions-Synthesis (R-D-S) will be held where participants and local authorities will formulate recommendations for future actions. That session officially closes the sharing program. Participants who are interested to further their observation to other sites of the country, are most welcome. Other recommended sites are Yogyakarta and Bali. For these observation visits, participants are requested to bear their own cost, i.e. air fare and accommodation. DAMANDIRI Foundation as host will provide assistance and facilitation. PARTICIPANTS … Participants will comprise senior and middle-level officials representing national and international Government and Non-Government Agencies in Family and Community Development. DATES AND VENUE ... The OST will he held in August 2008 at Jakarta, Bogor and Serang. As above mentioned optional observation at own cost will be at Yogyakarta and Bali. THE HOST … The organizer and host organization of the OST is the DAMANDIRI Foundation, a national Non-Governmental Organization founded by the former President Suharto in 1996. The overriding aim of the foundation is breaking the poverty chain and to enhance quality families. Pursuant to that aim, the foundation collaborates with various organizations and institutions, both in the government as well as the non-government and civil societies. The foundation also links itself closely with the banking system to enhance small and medium enterprises at the grass roots levels, and to enhance the services of professionals, such as village midwives. Links are also forged with the universities to enhance their community services to help the poor and the under-privileged. Having had significant experience and lessons learnt, the foundation began embarking on sharing those to national and international circles. This is done through seminars and workshops and by inviting national and international participants to Observation Study Tours. In implementing this OST the foundation collaborates closely with related institutions, such as the National Family Planning Coordinating Board (BKKBN) at various levels, the Coordinating Ministry for People’s Welfare, the Ministry of Interior, State and Private Universities and professional associations. THE COST … Participants are recommended to secure funding from their own country organizations or from international donor agencies, for return international travel to Jakarta. The DAMANDIRI Foundation will furnish local costs which includes, full-board accommodation, field observation, insurance and administrative/secretarial work, documentations and reports. FURTHER INFORMATION ... DAMANDIRI Foundation, Granadi Building 11th Floor, Jl. Rasuna Said, Blok X-1, Kav.8-9 Kuningan, South Jakarta, Indonesia Phones : (62-21) 252 4981, 252 4984, 529 64462 Fax : (62-21_ 252 4980, 525 4521 Web site : www.damandiri.or.id e-mail : redaksi@damandiri.or.id, pudjor@yahoo.com

Saturday, July 19, 2008

Home School Organization : Myth or Reality?

by Lisa Rae Preston

If I had a nickel for every time I've mumbled, "Now where did I put that?" -- I could be home schooling on a beach in Hawaii.

Organization and "space control" challenge the best of us. It's difficult enough for me to keep all my projects organized, much less assist little ones in the process!

One helpful reminder -- we're not re-creating a miniature public school classroom. It's unnecessary for a home school to include a separate room with desks, a blackboard and alphabet pictures on the wall.

Think of how you learn most effectively. It's probably not in one spot all day. You may find a new cookbook in the kitchen, thumb through it in the living room, and place it on the bedside table to read before going to sleep. Since learning takes place everywhere, let's make it an integral part of our living space.

That doesn't mean spread out all over the house, though, and never picked up! You may have a bookcase of history books in one room and science books in another part of the house. I recommend each child have a plastic container that can slide under the bed for "out of sight" storage.

Different methods work for different folks. Do what fits for your family. Here are additional organization ideas that you may find helpful.

Organizing Your Home School Space

1) A sturdy 4 drawer fining cabinet is perfect for home and school organization. Lesson plans, children's notebooks and portfolios, awesome work, etc. can be stored and retrieved later with relative ease.

2) I find it helpful to use an unusual color for my plan sheet. Most stores have rainbow and neon colored paper. The brightness of the paper makes it much easier to find when misplaced. (Which for me is often!)

3) Add 10-15 extra minutes for a task/activity when you are planning. Then when little things pop up - like the dog throwing up on the living room rug -- you won't be thrown far off schedule.

4) Try to sort your mail every day. Catalogs and letters can take up tons of precious horizontal space. Perhaps you'll want a basket for items you want to get back to later.

5) Clear plastic, hang-over-the-door shoe bags make great holders for craft and home school supplies.

6) Keep a central desk caddy for the stapler, tape, scissors, and stray pencils and pens.

7) Hooks are easily purchased just about anywhere, and they're great to hang clipboards on!

8) Plastic wall pockets can serve the same purpose.

9) Every morning build in "cleaning time" for the whole family. This home school subject is taught daily to keep Mom happy and less stressed!

10) Take one day per week and use it as your home school planning time. Fridays are nice. Yep -- one whole day. Your children can work on reading, crafts, play or individual projects. This day is necessary for sanity, so please set it aside religiously!

11) Communicate and model your expectations for a certain task. Tell your child, show your child, and have him repeat it back to you. The few seconds this takes can save lots of frustration and "having to do it all over again".

Of course, if real learning is occurring, life won't stay perfectly organized all the time. But organization does equal sanity sometimes, and any idea for keeping school organized is worth a second look!

Lisa Preston taught public school for 17 years before becoming a Homeschool Evangelist! Pick up her free book Why You Should Homeschool Your Child: A Public Schoolteacher's Confession at http://www.homeschoolhelper.com.

Send Feedback to Lisa Rae PrestonMore Details about "home school" daily schedule here

Home Schooling – The Best Educational Option

Well, I don’t normally plan on being this longwinded - but this post is exactly why I started this blog, so… Thanks for your indulgence!

Home schooling allows parents to utilize the best teaching and learning practices (such as one-on-one learning instruction) and to implement unique brain strategies. And since you don’t have a classroom of 25 children to manage, you can allow your child to pursue areas of his own interest. This freedom skyrockets motivation!

A home schooled child can have a customized, tailor-made education. How freeing to learn at his own pace, not hurried and frustrated or twiddling thumbs while waiting for others to listen or catch up.

Homeschooling also allows for a breadth and depth of curriculum that isn’t available in the public school. For instance, recent studies show that listening to a foreign language before the age of two gives a child the ability to later learn and speak that language like a native. You don’t have to wait until age 14 to begin Spanish! Many home schooled children learn real-life skills – they can cook, grow their own vegetables, build a house –and they develop musical and artistic talents, too. Some even start their own businesses as early as age 8!

Also, when a person is schooled at home, and there is an emphasis on meaning and understanding. Learning isn’t just a bag of trivial facts, it becomes an entire dimension when you’re home schooling.

Home schooled children are likely to become independent, creative thinkers. They feel free to search for truth and question opinions stated as facts.

Most of a child’s day in the public school is spent trying to fit in, and that interferes with the learning process. Children who don’t have to take the time to develop and use survival mechanisms to keep from being made fun of or bullied, develop strong, confident self-concepts. Moms and Dads are thrilled at their children’s creativity, and at home no one is criticized for having a unique idea.

This relaxed atmosphere allows learning to catapult to heights that just aren’t possible when you have to create ways to survive, and plan ways to belong.

One of the most profound benefits of homeschooling is the strong family relationships that are forged. Respect and manners can be not only taught, but modeled again and again. Service to others just becomes a part of life. Strong families work through their problems together. The companionship and gift of time with our children takes precedence over the frantic pace of the treadmill.

Mae Shell, a homeschooled young lady, is quoted in The Homeschooling Book of Answers (by Linda Dobson). Her words say it better than I ever could. When asked what she’d most remember about being homeschooled, Mae replied, “The first thing that comes to mind is the importance of my family life. And I mean this in every sense you can imagine, not simply loving, but being friends with my family, enjoying their company, supporting them and knowing they support me no matter what happens…

More than being just parents, they are my friends, mentors, teachers, and counselors. I also cherish the friendship of my three younger sisters and older half-brother and sister. I know I will always have these rich, wonderful relationships with my siblings.” Mae goes on to speak of what her family means to her. “I value being a part of this intricate living quilt above everything else.” (pg.222)

Can you put a price tag on this type of family strength and love? It’s worth everything!
Well, that’s a mouthful and a half. I have descended my soap box and promise to have shorter posts on this blog as well!

Take care,
Lisa, http://www.homeschoolevangelist.com/

Overlooked Learning Style - Does Your Child Like to Touch Everything?

Visual, Auditory, Kinesthetic…


…the three biggies we were taught in our education classes and in numerous teacher conferences - these are the ways children learn.


Funny, I never fit into any of those categories.


Then researchers added in the “tactile connection”. Great! Now we have a category while feels like home to me.


Unfortunately, tactile learning is often squashed in with kinesthetic, as it involves touching - which is movement in a sense. But tactile learning is actually very different.


With a true tactile learner, there is something about the actual feel of an item that connects the brain’s circuits with the information to be learned.


We sometimes want children to sit still and listen and quit all movement while they’re reading, watching, or attending to a lecture or sermon. Tactile folks actually learn better if they can be fiddling with some squishy toy, piece of soft fabric, etc. That touch literally heightens the learning process for them and makes things “click”.


I am highly tactile. When I’m in a store, my hands are on unusually textured items constantly. I can be reading about a historical moment, and then touch something symbolic of that moment, and the whole essence of the learning comes alive for me. In that moment of touch, I “get it”.


Particular items I enjoy feeling of while I’m learning are soft blankets, chenille socks, squishy gel toys. But if you can use something symbolic of the learning activity, it’s even more powerful.


For instance, if you’re studying history, go to the cemetery and look for old stones, dating back to the 1700s. Telling the stories of the founding fathers of your town while tracing the faded names and dates can connect children to the reality of the past. These were real people, who really made some sort of difference in the world. What was it? What difference will I make?


When you study bees, capture a specimen, freeze it and touch the wings and body. If that freaks your child out, then buy some honeycomb - anything related to the subject that can be touched.


Spiritual Growth and Connection


Tactile methods work in the spiritual realm, too. For instance, last night I attended a prayer conference where there were prayer stations all around the perimeter of the room. One in particular drew me like a magnet. There was a small table set up with various tapestries and a cross standing in the center. Large pillar candles arranged among the folds of material added a feeling of calm.


I found myself in front of the table during the worship time, touching the fabric and connecting with the Father in a beautiful new way. The feel of the iron cross, the purple satin, the textured deep red fabric - the touch - connected me with Jesus’ heart.


Relating to Others


Tactile children also tend to relate to people and deepen relationships through physical touch. They’re the folks who are always touching loved ones on the shoulder, patting them on the arm, hugging, play wrestling, etc. Without that meaningful physical touch, there’s a feel of “disconnect” in the relationship.


Some children connect by seeing, some by hearing, some by moving around. Others must touch to learn. It’s one reason hands-on activities can be so powerful!


That’s the news for today!


Talk to you later!Lisa, http://www.homeschoolevangelist.com/

Powerful Learning TrickTouch Everything?

Here’s a powerful tip that will skyrocket your child’s test-taking abilities by helping what he’s learning really stick.

And it’s so simple, even a five-year-old can do it!

All you have to do is ask the child to document in some way the jist of what was learned in each subject that day. Younger children can draw a picture. Older children can write a few sentences.
Boring? So non-creative? Ah, therein lies the secret.

When we read information, we can move through quickly, get to the end of the book and then if someone asked us what we learned from that text, we say, “Uhm, well, see, it’s about… uhm… Well, hand it here again…”

But if two minutes are taken at the end of each chapter to form a two sentence synopsis of what the chapter was about, WOW! That information ends up rubber cemented to the brain. If the child talks about what she’s learned within 24 hours, and actually explains those two sentences to someone, the info ends up super-glued to the brain.

This simple tip is often overlooked, because by the end of a learning session, we’re likely eager to skip to something else, or we’re headed out the door. But taking that extra two minutes to summarize the basic ideas of what was learned means that come test time - there won’t need to be a ton of review or stomach ulcers. It’s all cemented in the brain, just waiting for retrieval.

It’s potentially the most valuable two minutes of the learning process!

Talk to you later!Lisa, http://www.homeschoolevangelist.com/

P.S. For numerous tips to help your children learn faster and easier, check out the “Brain Strategies” section at http://www.homeschoolhelper.com

Thursday, July 10, 2008

Golden Age News

Golden Age is Early Child Development [Pengembangan Anak Usia Dini/ PAUD]