Rekomendasi Menjadi Blogger Kaya:

Saturday, September 6, 2008

Bermain dengan Ayah

Oleh Arda Dinata

“Sering orang mencoba menjalani hidup secara terbalik; mereka mencoba memiliki lebih banyak barang, lebih banyak uang, agar dapat mengerjakan hal yang mereka inginkan lebih banyak, agar mereka lebih bahagia. Sebenarnya, jalan yang benar adalah kebalikannya. Engkau pertama-tama harus menjadi dirimu yang sesungguhnya, lalu melakukan apa yang perlu kaulakukan, agar dapat lebih banyak memiliki hal-hal yang kau inginkan.”
(Margaret Young).


Sore itu, cuaca begitu cerah. Pak Zaenal seperti biasa setelah shalat Ashar, baru pulang dari kantor. Begitu sampai di rumah, pak Zaenal mengucapkan salam dan membuka pintu rumah. Di sana, didapati putri kesayangannya, Alifia (5 th), yang sedang menunggu dan menyambut dengan antusias atas kehadiran ayahnya. Anak ini, seakan-akan tidak memperdulikan kondisi ayahnya. Biar kondisi ayahnya capek, lelah, dan perlu istirahat. Pokoknya dalam pikirannya hanya ada satu kata, yaitu “bermain dengan ayah”. Dalam pikirannya, bermain dengan ayah adalah sesuatu yang paling menyenangkan.

Pada keadaan itulah, biasanya hati pak Zaenal luluh untuk menuruti kemauan anaknya. Dan pak Zaenal menghibur dirinya dalam hati dengan ucapan, “Bukankah, saya selaku orang tua harus mampu memposisikan pikirannya dengan pikiran si anak. Lagian kita selaku orang tua harus mampu memformulasikan rasa lelah, bijaksana, emosi anak, mendidik, dan hiburan menjadi satu bentuk amal keikhlasan,” ucap hatinya.

Akhirnya, terciptalah kebersamaan pak Zaenal dengan anaknya. Keduanya bermain-main naik sepeda keliling rumahnya. Hilang sudah “rasa lelah” pak Zaenal, berganti keceriaan yang tiada tara, baik dirinya maupun anaknya. Dan seperti biasanya, saat bermain itulah pak Zaenal tidak lupa menyelipkan tarbiyah tentang kehidupan kepada anaknya.

* * *

Hiburan merupakan kebutuhan tambahan --yang cukup memberi andil dalam perkembangan anak--. Dari aktivitas hiburan ini, akan terbentuk penyegaran pikiran dan fisik. Ialah obat dari kejenuhan rutinitas hidup seseorang. Baik bagi suami, istri, maupun anak.

Dalam koridor seperti itu, biasanya emosional orang tua menjadi luluh. Orang tua memenuhi keinginan seorang anak untuk mendapat hiburan. Hiburan apa? Seperti yang terjadi pada pak Zaenal, ternyata di luar dugaannya. Sang anak hanya ingin naik sepeda. Dengan naik sepeda keliling lingkungan RT, wajah sang anak begitu terlihat bahagia. Begitu juga pada keluarga lain, anak-anak itu sebenarnya tidak menuntut banyak tentang jenis hiburannya. Tapi, dirinya ingin bermain dengan kemampuan orang tuanya.

Bisa dikatakan langkah pak Zaenal itu, adalah sesuatu yang menjadi ikon pribadi seorang ayah yang bijaksana. Karena menurut Margaret Young, sering orang mencoba menjalani hidup secara terbalik; mereka mencoba memiliki lebih banyak barang, lebih banyak uang, agar dapat mengerjakan hal yang mereka inginkan lebih banyak, agar mereka lebih bahagia. Sebenarnya, jalan yang benar adalah kebalikannya. Engkau pertama-tama harus menjadi dirimu yang sesungguhnya, lalu melakukan apa yang perlu kaulakukan, agar dapat lebih banyak memiliki hal-hal yang kau inginkan.

Naik sepeda, begitu sederhana. Tak perlu biaya banyak dan relatif setiap orang tua mampu melakukannya. Tapi, hal sederhana itu, justru Subanallah manfaatnya. Diantaranya, bagaimana kita bisa mengajarkan rasa syukur nikmat, menghormati orang lain, aktivitas amaliah di dunia, dan lainnya. Tarbiyah itu, tentu masih dalam jangkauan pikiran dan bahasa anak-anak seusianya.

Salah satu kesan menghibur anak dengan naik sepeda itu adalah proses mendidik anak untuk mensyukuri nikmat. Aktualisasi rasa syukur nikmat itu secara sederhana, kita bisa mencontohkan misalnya bagimana seorang manusia yang diberi anggota tubuh yang sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya; terciptanya hewan, tumbuhan; adanya matahari, bintang, langit, awan, dll. Atau berupa nikmat non materi seperti nikmat sehat dan adanya waktu senggang, sehingga kita bisa bermain.

Pokonya, pemberian kebutuhan tambahan hiburan kepada keluarga. Lebih-lebih pada anak adalah lebih utama dari yang lainnya. Rasulullah bersabda, “Pemberian tambahan seseorang kepada keluarganya lebih utama daripada pemberian tambahan kepada orang lain, seperti kelebihan seseorang shalat berjama’ah dibanding seseorang shalat sendiri.”(HR. Ibnu Abu Syaibah). Wallahu a’lam.***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

0 comments: